*MUQODDIMAH* Ba`da Tahmid dan Sholawat "sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkanya ( Hr. bukhori.)

0 Berobat dengan Sedekah

Pada pertengahan tahun 2008 lalu, saya mendapatkan sebuah buku yang berjudul Min ‘Ajaibil ‘Ilaj Bish-Shadaqah. Buku ini secara khusus membahas tentang keajaiban berobat dengan sedekah. Buku ini memuat puluhan kisah nyata tentang orang-orang yang sembuh dengan sedekah.

Pada bagian penutup, penulis menguraikan kisah Syaikh Abdul Hadi, seorang imam di salah satu masjid jami’ di Suriah. Selain menjadi imam, beliau juga banyak diminta menyampaikan dakwah dan tausiyah di berbagai masjid dan majelis di daerahnya.

Syaikh Hadi, sebagaimana layaknya orang yang baru menikah, beliau juga tentu sangat berharap segera memiliki momongan setelah menikah. Apa yang diharapkan oleh beliau mendapat jawaban dari Allah SWT. Kegembiraan dan keceriaan pun senantiasa menghiasi hari-hari beliau dengan kelahiran anak pertamanya.

“Tak lama setelah menikah, Allah SWT mengaruniakan kepada kami seorang anak, sebagai anak pertama kami. Kami sangat senang dan gembira dengannya,” ujar Syaikh Hadi.

Namun, roda kehidupan tak selalu mudah dan menggembirakan. Ketika anak laki-lakinya itu memasuki usia bermain (sekitar 3 tahun), Allah SWT mencoba keluarga Syaikh Hadi. Putra semata wayangnya ditimpa sakit keras. Banyak sudah dokter yang telah didatanginya untuk berobat, tetapi anaknya belum juga diberi kesembuhan.
”Kami sangat bersedih terhadap anak, buah hati dan penyejuk mata dan hati kami. Setiap dari kalian pasti mengetahui bagaimanaa arti seorang anak bagi orangtuanya, apalagi dia merupakan anak kami yang pertama.”

Segala upaya beliau tempuh demi menyelamatkan putranya dari sakit yang menderanya. Namun, belum juga mendapatkan jalan keluar. Hal itulah yang membuat beliau sangat bersedih karena belum dapat memberikan hal terbaik buat buah hatinya.

”Kami pun pasrah dan tunduk dengan ketetapan Allah SWT. Kendati demikian, kami tetap menempuh berbagai sebab, tidak meninggalkan satu kesempatan pun, guna menyembuhkannya.”

Seseorang kemudian menunjukkan kepadanya seorang dokter berpengalaman dan terkenal. Syaikh Hadi pun lalu membawa putranya itu kepada dokter yang dimaksud. ”Anak kami terkena sakit panas,” ujarnya kepada dokter.

Dokter pun langsung memeriksa dan mendeteksi penyakit yang menimpa anak tersebut. Sejurus kemudian, dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya. Dokter itu berkata, ”Jika panas anak ini tidak turun malam ini juga, bisa jadi besok dia akan meninggal!” Sebuah kesimpulan yang pasti membuat orang-orang yang mendengarnya akan sangat bersedih.

Setelah diperiksa dan diberi obat penurun panas, Syaikh Hadi membawa putranya kembali ke rumah. Sebagai manusia biasa, kesedihan tentu tak luput darinya. Namun, tawakkalnya kepada Allah SWT, Sang Maha Penyembuh, tetap lebih menghiasi hati dan jiwanya.
Syaikh Hadi mengungkapkan, ”Kami kembali ke rumah dengan sangat sedih. Sakit itu benar-benar menggerogoti hati kami.”

Setelah sampai di rumah, Syaikh Hadi beserta istri terus mendampingi putra semata wayangnya yang belum juga siuman, sembari terus berdo’a kepada Sang Maha Penyembuh, memohon kesembuhan untuk anaknya.

Sesekali Syaikh Hadi berusaha tidur walau hanya sejenak, namun kesedihan tak membiarkan matanya tertidur. Sakit hebat yang menimpa putranya tak membolehkannya memejamkan mata walau hanya sekejap.

Syaikh Hadi kemudian bangkit dari samping anaknya. Ia beranjak menuju tempat wudhu. ”Saya kemudian bangkit pergi mengambil air wudhu lalu shalat.”

Allah SWT berfirman, ”Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45)
Setelah melaksanakan shalat sebanyak beberapa rakaat dan memohon kepada Allah SWT, Syaikh Hadi kembali ke anaknya. Tak lupa ia memperhatikan istrinya yang tetap setia berada dekat kepala anaknya, dalam keadaan sedih dan galau.

Guna menghilangkan kepenatan, dia kemudian keluar dari rumahnya untuk beberapa saat. ”Saya berjalan di jalan-jalan tanpa mengetahui apa yang harus aku lakukan untuk anakku!” Saat berjalan-jalan itulah, tiba-tiba Syaikh Hadi teringat dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi, ”Obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.”

Sejenak, sabda Rasulullah saw itu membuat Syaikh Hadi berpikir, ”Kepada siapa saya harus bersedekah di saat orang-orang sedang tidur terlelap? Siapa yang akan menerima sedekahku?! Haruskan aku mengetuk pintu rumah orang lain?! Apa tanggapan orang nanti jika mengetuk pintu rumahnya di tengah malam seperti ini?!”

Namun, segera saja Allah SWT mengirim jawaban padanya. Ketika sedang dirundung kebingungan dan kesedihan, secara tiba-tiba seekor kucing lapar mengeong, di tengah malam yang gelap gulita. Seolah mendapatkan ilham dari Allah SWT, Syaikh Hadi langsung kembali ke rumahnya untuk mengambil sepotong daging lalu memberikannya kepada kucing tersebut. Ya, hanya itu yang dapat dilakukannya di tengah malam yang gelap gulita. Bukankah menolong hewan termasuk sedekah?

Setelah itu, beliau kembali masuk ke rumahnya. Ketika menutup pintu, tiba-tiba dia mendengarkan suara isterinya memanggil, ”Apakah kamu sudah kembali, mari...mari kepadaku! Cepat!” Dengan cepat Syaikh Hadi melangkah menuju istrinya. Dia menemukan wajah istrinya yang berbinar memancarkan cahaya kebahagiaan!!

Ketika telah berada di sampingnya, istrinya menuturkan, “Setelah engkau pergi, saya sempat tertidur sejenak dalam keadaan duduk. Saat itulah saya memimpikan sesuatu yang sangat menakjubkan.”
”Saya melihat, ketika anak kita berada dalam gendonganku, tiba-tiba seekor burung besar berwarna hitam datang dari arah langit untuk merebut anak kita dariku. Aku terus memeluknya dengan erat, tanpa tahu apa lagi yang harus akau perbuat. Namun, secara tiba-tiba pula datang seekor kucing lalu mendorong burung itu dengan kencang. Kucing itu melawannya dengan sangat kuat. Saya tidak pernah melihat kucing sekuatnya. Padahal burung itu lebih besar. Kucing itu terus berusaha melawan, hingga burung itu benar-benar pergi menjauh. Saya lalu terbangun saat engkau datang kembali,” terangnya.

Mendengarkan penjelasan tersebut, Syaikh Hadi hanya tampak tersenyum gembira; dia berusaha mengisyaratkan sesuatu kepada istrinya agar tetap optimis dan gembira dengan janji Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan. ”Semoga semuanya baik-baik saja,” ujar Syaikh Hadi singkat.

Syaikh Hadi dan isterinya segera menuju anaknya yang berada di atas tempat tidur. ”Saya tidak ingat persis siapa yang lebih dulu sampai. Yang jelas bahwa kami mendapati anak kami dalam keadaan panasnya telah menurun.” Bukan hanya itu, anaknya pun mulai siuman. ”Anak kami mulai membuka kedua matanya.”

Apa yang terjadi selanjutnya?! Keeseokan harinya, anak semata wayangnya itu kembali bermain bersama dengan anak-anak sebayanya, seperti biasanya. Dia telah sembuh sebagimana yang diharapkan. ”Demi Allah, Yang tiada Tuhan selain-Nya, dia kembali bermain dengan rekan sepermainnya di daerah kami, sebagaimana biasanya. Al-hamdulillah....” ucap Syaikh Abdul Hadi memuji kepada Allah SWT atas anugerah yang Allah SWT berikan pada anaknya. Kini, anak itu telah tumbuh besar. Dia penghapal Al-Qur`an dan mendalami ilmu-ilmu syariah, sesekali anak itu memberikan pengajian di masjid ayahnya bertugas dan masjid-masjid lainnya.

Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ’anhu, Rasulullah saw bersabda, ”Obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (Hadits hasan; lihat shahih Al-Jami’ oleh Al-Alabni no. 3358)

0 SURAT RIMA

Seperti biasa, aku bangun di pagi buta. Kendati ini hari libur untukku. Putri kecilku, Rima pun demikian. Ia sudah terbiasa bangun pagi bersamaku. Aku langsung ke meja kerjaku, membolak-balik buku, artikel dan menulis sesuatu. Tiba-tiba Rima bertanya: “Apa yang sedang mama tulis?”.

“Aku menulis surat kepada Allah!”, tanpa menoleh aku menjawab sekenanya.

“Bolehkah aku membacanya, mah??

“Tidak sayangku. Ini surat pribadi. Aku tidak ingin orang lain mengetahui isinya”.

Dengan wajah sedih Rima keluar dari ruang kerjaku. Namun hal itu sudah biasa terjadi. Aku telah berkali-kali memberi penolakan serupa…Dan peristiwa ini terjadi beberapa minggu lalu.

Suatu hari aku menengok kamar Rima. Aneh. Untuk kali pertama, Rima keberatan aku masuk ke dalam. Duh, mengapa ia merasa keberatan terhadapku? Kayaknya ia sedang menulis sesuatu.

“Apa yang sedang engkau tulis, sayang?”. Aku bertanya penuh keheranan. Hatiku penasaran, apa yang ditulis putriku yang saat itu baru berumur sembilan tahun? Apalagi, ia enggan jika aku membacanya.

“Aku sedang menulis surat untuk Allah seperti mama”. Jawabnya polos.

Rima lantas memotong pembicaan. Ia bertanya: “Mah, apakah yang kita tulis ini bisa menjadi kenyataan?”

“Tentu saja, sayang. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…”. Namun Tetap saja Rima menolak jika aku membaca suratnya.

Galau aku beranjak dari kamarnya. Aku menemui suamiku, Rasyid untuk membacakan koran hari ini. Aku terus membaca. Namun hatiku masih kacau memikirkan putri kecilku. Rasyid dapat membaca hal itu. Bahkan ia menyangka, dirinya yang menjadi sebab kesedihanku. Ia berusaha menghiburku dan mengusulkan mencari seorang perawat, agar bisa lebih ringan mengurus dirinya. Oh Tuhan, aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Segera kuraih kepada suamiku. Kupeluk dan kukecup keningnya. Kening yang selama ini mengucurkan peluh untuk diriku dan Rima… Ia mengira kesedihanku karena dirinya. Lalu aku jelaskan padanya sebab kegalauanku itu.

Sejak papanya sakit, aku yang mengantar Rima ke sekolah… Suatu hari, saat pulang, Rima kaget menyaksikan dokter berada di rumah kami. Ia segera berlari menengok ayahnya yang terserang stroke. Lalu duduk di sisinya, mengajaknya bercanda serta membisikkan kata-kata sayang padanya... Sebelum beranjak, sang dokter menuturkan padaku kondisi suamiku yang terus memburuk. Karena menganggap Rima masih kecil, tanpa perasaan aku sampaikan semua padanya. Bahwa dokter mengatakan, jantung ayahnya, tempat segala cinta dan kasih sayang, mulai lemah. Dan bahwasanya, ayah tidak mungkin dapat hidup lebih dari tiga minggu. Rima syok. Menangis keras sambil beseru: “Mengapa hal ini terjadi pada papa?, mengapa…??”.

“Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhan papa sayang!. Engkau harus berani dan kuat. Jangan lupakan rahmat Allah. Sungguh Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau kan anak sulung dan sudah besar…”.

Mendengar jawaban itu, hati Rima mulai tenang. Berangsur kesedihannya mereda. Keberanian mulai tumbuh dalam hatinya. Tegar ia berseru: “Papa tak akan meninggal…!”.

Seperti biasa, setiap pagi Rima mengecup pipi papanya. Tapi, pagi itu ada sesuatu yang lain. Saat ia mengecup papanya, ia memandangnya dengan pandangan kasih seraya berbisik: “Seandainya hari ini ayah bisa mengantarku ke sekolah seperti teman-teman yang lain…”.

Suamiku, Rasyid nampak sedih. Sekuat tenaga ia berusaha menyembunyikan kesedihan itu. “InsyaAllah, suatu hari nanti aku akan mengantarkan engkau ke sekolah, sayang”.

Setiba di rumah setelah mengantar Rima ke sekolahnya, hatiku terusik penasaran ingin mengetahui surat-surat Rima yang ditulis untuk Allah. Aku mencari di atas mejanya, namun hasilnya nihil. Setelah lama mengacak, tetap saja hasilnya nihil, “Duhai, dimanakan surat-surat itu??” Apakah ia menyobeknya setelah ditulis??

Tiba-tiba pandanganku terbentur pada sebuah kotak. “Barangkali berada di dalam sana”, batinku. Sebab Rima sangat menyukai kotak ini. Berulang kali ia memintanya dariku, hingga terpaksa kukosongkan isinya dan memberikan padanya. Aku pun meraihnya. “Duhai Rabb, kotak ini penuh dengan surat. Seluruhnya ditujukan untuk Allah”.

Diantaranya: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, matikan anjing tetangga kami, Said, sebab ia membuatku takut”.

“Wahai Tuhanku, suburkan bunga-bunga di halaman kami, agar dapat kupetik setiap hari dan memberikan pada ibu guruku”. Dan masih banyak lagi surat-surat yang lainnya…

Aku merinding. Ya Allah, perasaan, seluruh permohonan Rima dalam surat-surat itu terkabulkan. Anjing tetangga kami telah mati beberapa minggu lalu. Kucing di rumah kami telah memiliki anak. Ahmad lulus dengan nilai tertinggi. Bunga-bunga di halaman telah besar, dan Rima memetiknya setiap hari untuk ibu gurunya…“Wahai Rabb, mengapa Rima tidak memohon untuk kesembuhan papanya?!!”, batinku.

Aku terus mencari. Barangkali ia pernah menulis dan memintanya. Sayangnya, upayaku terhenti oleh dering telepon. Pembantu kami segera menjawabnya.

“Nyonya, telepon dari sekolah…”.

“Sekolah..?!!, ada apa dengan Rima??, Apakah ia berbuat sesuatu??”. Teriak batinku.

Dari seberang sana, hati-hati sekali ia mengabarkan padaku, bahwa Rima terjatuh dari lantai empat. Saat itu Rima ingin ke rumah ibu gurunya yang sakit untuk memberikan sekuntum bunga...

Sungguh merupakan pukulah hebat bagi diriku dan suamiku. Lantaran syok luar biasa, tiba-tiba lidah suamiku tak dapat digerakkan lagi. Maka sejak hari itu juga ia tidak dapat lagi berkata-kata. Aku hanya menagisi hari-hari yang lewat tanpa Rima di sisiku. “Mengapa Rima harus mati?? Mengapa??, aku tidak dapat menguasai diriku lantaran kepergian anak tercintaku.

Bahkan, setiap hari aku terus membohongi diriku. Aku sengaja ke sekolah Rima seolah-olah aku mengantarnya. Aku juga mengerjakan segala sesuatu yang dicintai anakku itu. Duhai, setiap sudut-sudut rumah ini mengingatkanku padanya. Mengingatkanku pada tawa riangnya yang memenuhi rumah ini dengan kehidupan…

Tak terasa, peristiwa itu telah berlalu setahun. Sungguh, ia seakan hanya berjalan sehari saja.

Pagi itu, tepatnya hari jum’at, tiba-tiba pembantu kami datang tergesa-gesa. Nafasnya memburu. Ia mengabarkan, bahwa ia mendengar suara berasal dari kamar Rima… Ya Allah, apakah Rima kembali?? Ini adalah satu kegilaan…

“Engkau jangan terlalu banyak menghayal… Tidak ada yang pernah masuk di kamar itu sejak kepergian Rima”, sergahku.

Tapi suamiku tetap menyuruhku pergi dan melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu.

Ragu aku memutar kunci pintu. Jantungku berdetak kencang. Saat pintu terkuak, aku tak sanggup menguasai diri…Aku jatuh duduk, dan hanya dapat menangis. Kenangan indah bersama Rima merasuki pikiranku. Saat kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur Rima, kaki-kaki ranjang itu bergoyang dan mengelurkan suara deritan. Oh, aku ingat. Berkali-kali Rima mengabarkan padaku, bahwa kaki tempat tidurnya goyang dan mengeluarkan suara berderit. Dan aku lupa memanggil tukang untuk memperbaikinya… Namun sekarang, rasanya tak ada gunanya lagi. Aneh,, apa penyebab suara yang didengar pembantu kami itu…?

Ternyata, suara itu berasal dari kaligrafi Ayat Kursi yang jatuh. Ayat kursi berbingkai yang selalu di baca Rima setiap hari hingga ia menghapalnya… Saat aku mengangkat dan hendak menggantungkan kembali, pandangan mataku terantuk pada secarik kertas kecil yang tertempel di balik kaligrafi itu…

Gemetar aku meraih kertas tersebut. “Duhai Rabb, ia adalah salah satu dari surat Rima. Apa yang tertulis pada surat ini?? Mengapa Rima meletakkanya di balik kaligrafi Ayat Kursi ?? Sungguh, ia adalah surat Rima untuk Allah. Nanar aku membaca:

“Ya Rabb, Ya Rabb, biarlah Rima mati, agar papa tetap hidup…!”.


Dari sebuah kisah nyata berbahasa Arab.

0 Orangtua dari Balita:

Maafkan kami ya Nak. Kami terpaksa menyerahkan dan membesarkanmu hanya dengan pembantu di rumah saat kamu masih Balita. Kami kan sibuk bekerja. Mau bagaimana lagi, daripada tidak ada yang menjaga? Kami hanya ingin memastikan ada yang mengurus kebutuhanmu. Demi kamu sendiri.

Anak dari Lansia:

Maafkan kami ya Pa Ma. Kami terpaksa memakai jasa panti jompo untuk menjaga Papa Mama. Kami kan sibuk bekerja. Mau bagaimana lagi, daripada tidak ada yang menjaga? Kami hanya ingin memastikan ada yang mengurus kebutuhan Papa Mama. Demi Papa Mama sendiri.

*****

Anak : Papa, jam berapa pulang?
Orangtua : Aku tak tau Nak! Kamu tau, Papa kan sibuk!
Anak : Tapi Pa, boleh duduk bentar, ceritakan sebuah cerita untukku!
Orangtua : Iya, tapi Papa tak bisa. Maafkan Papa ya Nak, Papa sudah ada janji di kantor.

Setelah Papa pensiun...

Orangtua : Nak, kapan kamu akan pulang?
Anak : Aku tak tau Pah! Papa tau, kerjaanku begitu menyita waktu.
Orangtua : Nak, mau kemana? Boleh duduk bicara-bicara sebentar sama Papa?
Anak : Iya, tapi aku tak bisa. Maafkan Aku ya Pa, aku sudah ada janjian dengan kawan.

******

Orangtua saat kelahiran anak:

Sungguh perasaan ini haru melihat kelahiran anak kami. Oh ya ustadz, ustadzah, apa yang harus kami lakukan setelah anak kami lahir? Boleh bantu doakan? Boleh bantu guntingkan rambutnya? Boleh bantu aqiqahkan? Sekalian kalau sudah tumbuh besar nanti tolong ajarkan ya Al-Qur’an! Karena kami kurang mengerti, kami belum mempersiapkan ilmu mendidik anak kami. Insya Allah bayaran bisa di belakang!

Anak saat kematian orangtua:

Sungguh perasaan ini sedih ditinggalkan orangtua kami. Oh ya ustadz, ustadzah, boleh bantu kami mandikan orangtua kami? Kafankan orantua kami? Sholatkan orangtua kami? Kuburkan jenazah orangtua kami? Sekalian nanti kalau sudah selesai tolong tahlilkan ya orangtua kami! Karena kami kurang mengerti, kami belum siap ditinggalkan orangtua kami. Insya Allah bayaran bisa di belakang!

*****
Balita : Ini warna apa Ma?
Orangtua : Putih sayang....
Anak : Warna apa?
Orangtua : Putih.....
Anak : Warna apa?
Orangtua : Pu...tih......
Anak : Apa?
Orangtua : Putih!
Anak : Apa?
Orangtua : Aduh....Putih.....putihh.... putih.....jangan tanya berulang-ulang begitu. Kamu
pura-pura nggak dengar ya? Jangan buat Mama kesel dong!

45 tahun kemudian

Lansia : Ini warna apa Nak?
Anak : Putih Mama....
Lansia : Warna apa?
Anak : Putih.....
Lansia : Warna apa?
Anak : Pu...tih......
Lansia : Apa?
Anak : Putih!
Lansia : Apa?
Anak : Aduh....Putih.....putih.... putih.....jangan tanya berulang-ulang begitu. Mama ini
pura-pura nggak dengar apa? Jangan buat aku kesel dong!

Semoga bermanfaat.

Sumber:
Ust. Danu Kuswara
Komunitas Cerah Hati

 
ponpespelita © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Email by ponpes.pelita@gmail.com